Kapan Kita Mulai Mengerjakan Pekerjaan Utama kita ?

(Anggota Tim Unit Pengembangan Kreativitas dan Penalaran Mahasiswa UNS)

Pengantar

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah prasasti yang tertulis didepan Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga di kawasan Senayan Jakarta, pesan ini disampaikan Kepala Negara saat itu kepada seluruh pemuda Indonesia, pesan itu berbunyi : “Satu karya nyata lebih baik daripada 1000 gagasan besar”.

Terkait dengan hal di atas, maka bermodal sedikit tentang hal-hal yang terkait dengan pesan prasasti di atas, maka saya memberanikan diri mengajukan gagasan (alternatif) kepada seluruh pembaca. Paling tidak untuk melakukan koreksi dengan apa-apa yang selama ini dianggap sebagai suatu keberhasilan-keberhasilan oleh para pimpinan kita dan kita amini memang sebagai suatu keberhasilan-keberhasilan kita juga.

Tulisan ini juga saya harapkan dapat membantu memberi jawaban (atau malah bisa membantu menyampaikan secara terbuka untuk diterima para pimpinan) dari beberapa rekan sejawat yang sering bertanya kepada saya tentang gagasan-gagasan besar yang sering disampaikan dari para pimpinan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diantaranya mengapa  para pimpinan dalam memberi sambutan di setiap acara-acara resmi atau tidak resmi selalu berapi-api, dengan antusiasme yang tinggi mereka begitu yakin bahwa apa yang disampaikan telah menjadi suatu “perjalanan pengabdiannya” sebagai pejabat. Pertanyaan-pertanyaan rekan sejawat yang lain adalah:  Apakah mereka (para pimpinan itu) sudah tahu tentang hal-hal yang terjadi di tataran praktis implementatif ? Apakah para pimpinan tidak malu, ketika berbicara dengan kepercayaan diri yang tinggi itu sebenarnya direspons dengan gumaman “apa seperti itu realitanya ? apa iya ? ” yang agak menyedihkan kalau ada yang menanggapinya dengan perkataan “Sudah bangun atau belum ya pimpinan tersebut dari tidur nyenyaknya di kursi yang empuk ?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut masih dilanjutkan dengan pertanyaan yang lain: Apakah para pimpinan tersebut tugasnya hanya bermimpi dengan mimpi-mimpinya ? Apakah mereka nanti tidak malu ketika sudah turun dari jabantannya, kemudian melihat dengan mata batin lurusnya dan bergumam ooohh… ternyata apa-apa yang saya anggap sebagai suatu keberhasilan saat memimpin, ternyata hanya sebuah artifisial belaka (semu) atau dengan kata lain apa-apa yang selama masih menjabat dianggap sebagai suatu keberhasilan, ternyata sangat memalukan untuk dikatakan sebagai suatu prestasi/ keberhasilan ?  Akibatnya, banyak dari mantan pimpinan tersebut setelah turun dari jabatannya karena didorong rasa malu menjadikan ia (mantan pimpinan) menjadi jarang ke kampus, berbeda sekali ketika masih aktif menjabat (berangkat kerja paling awal, pulang paling akhir).

Derivat dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah : adanya pernyataan “Pekerjaan para pimpinan yang diberi tunjangan struktural tinggi itu hanya berencana, berencana dan berencana, tanpa ada usaha bagaimana rencana yang telah disampaikan itu dilaksanakan dengan sistem pengendalian yang bagus, sehingga apa yang telah ditetapkan sebagai tujuan dalam rencana tersebut dapat tercapai”. Dengan demikian, pekerjaan para pimpinan memang senyatanya hanya berencana dan tidak pernah berusaha mewujudkan. Sehingga kasus ini sangat tepat kalau dikaitkan dengan pesan prasasti di awal tulisan ini.

Kalaupun kita terima bahwa mereka (para pimpinan tersebut) bekerja keras siang-malam, namun sejatinya apa-apa yang dikerjakan bukan merupakan pekerjan yang memiliki sekuensi. Hal tersebut terbukti dari sekian banyak kebijakan yang diambil lebih digerakkan oleh unsur egonya semata yang ingin dikenang sebagai prestasi sesaat.

 

Potret Diri UNS

Serangkaian acara bertajuk menyambut dies natalis ke-32 UNS telah usai. Mulai dari yang bertajuk tirakatan, wayangan, diskusi panel, seminar, lokakarya, international conference, reuni, jalan santai, hingga hingar-bingar suara musik yang bergemuruh. Dari sejumlah rangkaian kegiatan tersebut kebanyakan bercerita tentang kinerja yang telah dicapai, harapan di masa depan, keyakinan akan keberhasilan-keberhasilan masa depan. Contents tersebut sangat kental jika yang menyuarakan adalah para pimpinan/pengelola  unit manajemen fungsional, Dekanat hingga Rektorat.

Akibatnya, persepsi seluruh orang yang mengikuti acara-acara tersebut termasuk anggota sivitas akademika yang mengikuti acara-acara tersebut menjadi berubah, dari yang sebelumnya tidak tahu prestasi-prestasi yang telah diraih UNS menjadi tahu beragam prestasinya, baik ditingkat regional, nasional hingga prestasi internasional, dari yang tidak tahu rencana-rencana strategis kedepan para pimpinan menjadi tahu; sehingga sejak saat itu personal-personal internal tersebut memahami tentang peran masing-masing (termasuk yang sedang mengikuti acara tersebut) kedepan dalam rangka mencapai sasaran-sasaran strategis UNS. Produk yang langsung kelihatan dari mengikuti acara-acara tersebut adalah tidak jarang yang menjadi lebih yakin tentang jalan yang sedang ditempuh UNS. Didalam serangkaian acara tersebut, tidak sedikit terjadi diskusi-diskusi/silang pendapat.

Pertanyaan yang mengemuka dari silang pendapat tersebut adalah: Adakah diantara sekian banyak feedback tersebut yang ditindaklanjuti sebagai wujud pelaksanaan konsep continuous improvement ? Jika belum, bisakah jika kita sebut bahwa sebenarnya apa yang selama ini kita kerjakan selalu tidak memiliki target-target ikutan yang sifatnya berkelanjutan. Mindset sebagai pelaksana proyek tanpa mempedulikan kemanfaatannya telah menjadi budaya kerja kita. Suatu budaya yang mirip dengan perilaku masyarakat nomaden yang selalu berpindah-pindah membuka ladangnya, tanpa memikirkan dampak ikutannya. Atau karena memang didalam dirinya belum terfikir kearah tersebut?

Memang terdapat perbedaan antara perilaku masyarakat nomaden dengan “masyarakat kampus” tersebut. Bedanya hanya pada fisik ladangnya saja, jika masyarakat nomaden ladangnya adalah ladang untuk pertanian  sedangkan masyarakat kampus ladangnya adalah kegiatan-kegiatan (yang berasal dari uang rakyat) yang dibingkai “baju ilmiah” oleh para akademisi.

Hal-hal di atas sebenarnya bukan merupakan masalah jika memang apa-apa yang kami kemukakan memang bukan merupakan masalah bagi pimpinan, artinya : karena kematangan olah fikirnya, maka menjadikan pemimpin kita sudah lebih banyak “bersyukur” dengan apa yang selama ini dikerjakan dan telah diyakini memang benar sebagai suatu keberhasilan. Toh nyatanya memang UNS existed menurut ukuran-ukuran para pimpinan tersebut ???

 

Masukan

Penilaian positif penulis akan hal tersebut sebenarnya belum bisa dikatakan benar, karena banyak artikel yang disampaikan lewat serangkaian acara dies baik yang diadakan didalam lingkungan kampus ataupun artikel-artikel yang sifatnya disampaikan ke dalam ranah umum (public domain), misalnya : media cetak, media elektronika yang pasti dibaca oleh stake holder ekternal mengkritisi bentuk-bentuk kebijakan tersebut. Misalnya artikel rekan Andre Rahmanto (Solopos, 11 Maret 2008).

Hal inilah yang menarik untuk didiskusikan dan ditindaklanjuti. Manakala informasi yang dibawa keluar diterima apa adanya dan dipahami oleh stakeholder ekternal sebagai sesuatu yang  shahih, padahal bersifat kontrapoduktif dengan keinginan untuk mengembangkan UNS menjadi Perguruan Tinggi berstrata World Class University pada tahun 2015.

Apabila informasi-informasi “negatif” yang keluar terus mengalir, padahal disisi yang lain (para pimpinan UNS) mencoba untuk menuju sesuatu yang ideal, maka tahun ini yang dicanangkan sebagai tahun percepatan kemajuan oleh Rektor UNS yang terjadi malah sebaliknya, yaitu penurunan kinerja. Penurunan kinerja dapat terjadi misalnya berupa nota kesepahaman yang selama ini telah terjalin menjadi tidak berlanjut karena kekurang percayaan tentang kondisi yang sebenarnya di UNS, suatu kondisi yang berbeda dengan apa yang selama ini pimpinan sampaikan kepada pihak-pihak eksternal tersebut.  Selain itu juga upaya-upaya untuk meyakinkan pihak eksternal dalam menjalin kerjasama menjadi sulit disampaikan, karena sudah ada apersepsi tentang UNS. Artinya, kepercayaan diri seluruh jajaran pelaksana bahwa UNS telah berada pada keyakinan right on the track justru bisa berbalik arah (set back).

Tulisan ini tidak menawarkan bagaimana menanggapi akibat-akibat negatif dari banyaknya artikel yang kontraproduktif tersebut. Penulis hanya mencoba menelusuri bagaimana agar artikel-artikel yang keluar bersifat sinergis dengan kebijakan pimpinan.

Dengan menuangkan gagasan ke dalam sebuah karya tulis (populer) menunjukkan rekan Andre Rahmanto memiliki kepedulian maju-mundur UNS di masa depan. Orang yang seperti dia banyak jumlahnya di kampus Kentingan, orang yang seperti dia memiliki energi. Bagaimana jika energi (potensi) besar yang dimiliki dijadikan sebagai lokomotif perubahan di UNS ?

Lokomotif butuh bahan bakar untuk bisa menarik rangkaian keretanya, oleh karena itu, tugas para pimpinan untuk mengetahui siapa-siapa yang memiliki kepedulian akan kemajuan UNS di masa depan. Yang selanjutnya diberikan wadah yang tepat sehingga apa-apa yang dihasilkan bisa maksimal membantu kemajuan UNS. Mulai dari mengakomodasi buah pikirannya lewat diskusi-diskusi yang terstruktur, memanfaatkan jejaring kerja (networking) yang dimilikinya, karena saya yakin orang-orang seperti rekan Andre memiliki jaringan yang cukup dijadikan sebagai bahan baker kemajuan UNS di masa yang akan dating.

Dengan demikian, langkah-langkah UNS di masa depan memang didesain dengan secara sistematis, melalui sebuah perdebatan pemikiran yang mendasar, bukannya sekedar merespons tawaran-tawaran eksternal yang kita yakini tidak bisa kita jadikan sebagai pijakan UNS untuk menyusun rencana jangka panjangnya.

Jika ini tidak disadari secepatnya, maka bukan tidak mungkin sebenarnya kita semua telah melakukan kesalahan secara berjama’ah (Rektor sebagai Imamnya). Atau dengan lain perkataan sebenarnya kita semua memang tidak mampu mendesain wujud kita pada masa-masa yang akan datang. Dan pada akhirnya, jangan sampai ada pendapat yang menyebut dengan suara lantang bahwa ada tidak adanya pimpinan, UNS ya berjalan seperti ini.

 

Dimuat di mediator edisi 6 tahun 2008